Al-Qur'an Hadits Online dari www.opi.110mb.com/haditsweb/sejarah/sejarah_singkat_imam_hanbali.htm yang dikutip dari  http://muslim.or.id/?p=43 diterangkan bahwa beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin  Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin  Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau  bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti  bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.    Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah  dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau  dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling  masyhur- tahun 164 H.
  Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun,  ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke  wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani  Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan  karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia  dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti  Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan  membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah  rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah  lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan  beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin,  tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang  mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
  Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota  Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang  penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh  dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits,  para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
  Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa  Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke  ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak  mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat.  Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri  sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah  bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil  (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata,  ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang  selesai shalat subuh.’”
  Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada  keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang  pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf,  murid/rekan Imam Abu Hanifah.
  Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat  berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari  syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah  kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya  tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil  hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih. 
  Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari  hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling  menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke  Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil  hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau  dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits.  Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah,  Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun,  dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik,  tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak  sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan  Ismail bin ‘Ulayyah.”
  Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan  ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal  berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang  berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini.  Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama  mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu  sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan  beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi  manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di  sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak  ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau,  Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan  lain-lain.
  Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad,  dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun  tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab  tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang  muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran.  Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan  al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala  al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah),  kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal,  kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
  Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari  akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di  Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya  datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh  saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i  mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad  menolaknya.
  Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan  berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada  hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika  (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang  shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena  mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu  tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan  lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti  Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari  ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?”  Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah,  dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau,  “Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku  tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang  lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di  sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau,  tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui  bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai  salah seorang imam huffazh.
  Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari  ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para  nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan  dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
  Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak  kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab)  sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan  orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih  orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti  kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab  buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana  dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar  ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat  menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah,  Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain. 
  Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari  penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi  Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan  pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat  Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah,  pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya  ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran. 
  Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah  menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada  seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh  Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah  sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu  makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku,  niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh  seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke  tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam  kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan  berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
  Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan  Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian  tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan  dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik  yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di  kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi  perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari  mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam  Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu  kalamullah, bukan makhluk.
  Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa  Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu  pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh  meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad  dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang  kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan  al-Makmun.
  Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan  putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan  pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia  pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan  dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang  kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak  dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu  dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan  –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam  keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat  beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah  kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan  menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau.  Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung  yang menjulang dengan kokohnya.
  Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah  dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya  telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai  al-Mu‘tashim wafat.
  Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak  berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang  dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi  Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian  keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang.  Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk  keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang  lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
  Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya.  Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih  dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia  mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang  kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal  itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan  hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun  bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas  keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar  doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin  al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
  Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari.  Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka  berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang  untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12  Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang  telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak  sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang.  Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang,  bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya.  Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi  menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah  berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan  antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.
   Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat  bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang  yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika  sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas  kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun  dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali  bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah  mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya.  Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang  murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul  Mihnah”. 
Kemudian dari
  www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=174 dijelaskan bahwa "Ia murid paling  cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang  pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15  tahun karena menolak doktrin resmi Mu'tazilah merupakan saksi hidup watak agung  dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa." Penilaian  ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i, yang tak lain adalah guru Imam Hanbali.  Menurut Syafi'i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai dengan  pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan Imam  Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan  perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah  melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam  Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka  seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits  standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran  Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga  mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya,  Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab  karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan  kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan.  Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang  berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa  yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam  Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh  kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih  mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali  dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia  16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama  Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti  Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain  Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim,  dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir,  kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap  semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada  ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama  hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang  menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah  usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra  bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan  dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali  menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita  bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan,  Husain, Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam  Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi  saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya  pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga  Shubuh tiba,'' katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih,  berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang  sebanyak empat dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini  dan semuanya kuberikan kepadamu.'''
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran  Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah  yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama  berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham  Al-Qur'an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak  pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara  dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul.  Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan  tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu  membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak  kendati ia mendekam dalam penjara.
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil,  sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin  terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama  yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam  Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu  Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya,  ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik)  ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam  Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang  bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan  pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama,  nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa  dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua,  fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.
Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang  dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata  pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka  ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau  meriwayatkan kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan  nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau  hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima  adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari  keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H,  madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan  ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H).  Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian  pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab  tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan.  Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur'an, An  Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara.  Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal. 
www.alquranhaditsonline.blogspot.com