Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak  usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau  mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung,  beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika  berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits,  yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai  berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan  hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak  ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas  rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah  hadits.  Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam  lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi  ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru  kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad  bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan  Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas  'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan  ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung  kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan  dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet  ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi  SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan  hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa  juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan  lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari  kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai  gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah  meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar  hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar  Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila  dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara  menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya  Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan  pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan  disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring  hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu  jarh,  dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits.  Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat),  seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada  kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami),  dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik  dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam  Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat  orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu  Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits  terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah  ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental,  setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau  lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang  jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang  luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih  karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah,  syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’  ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut  memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di  pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan  amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220  H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan  Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan  haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H.  Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan  Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru  besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. "Biarkan aku mencium  kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits," pintanya, ketika di sebuah  pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah,  sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian  populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin  dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan  merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada pula, ungkapan ahli hadits dan  fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, "Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan,  ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits."
Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang  paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih  lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam  Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan  tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping  itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam  Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan  ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang  paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut.  Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada  setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat  menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih  pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah  al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih  unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang  kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai  cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan  membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan  hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya  meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits  Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033  hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana  dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika  didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara al-Bukhari dan Muslim
 
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya  Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih  Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis  dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam  keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan  setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai  as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih  Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari  lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih  mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya  sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya  saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim,  antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi  yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat  dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan  "kemungkinan" bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari  segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi  derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada  rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada  perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan —  sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam  menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan  berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan  dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan  lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim  dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih  tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’  wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5)  Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin  Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14)  Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri,  18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih  al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13  masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari  judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar  minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore,  pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala  kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh.  Amiin. www.alquranhaditsonline.blogspot.com
Sumber:
- http://members.tripod.com/fitrah_online/thema/des98/1298muslim.htm
- http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=171

Tidak ada komentar:
Posting Komentar